Catatan:
Andi Surya, Dr., Drs., MM.,
Akademisi Universitas MITRA Indonesia
Baru saja, 14 Februari lalu, kita disuguhkan Pemilu, yang konon katanya, luber, jujur dan adil. Itu karena memang, bangsa kita menginginkan demokrasi terbaik. Demokrasi dimanifestasi sebagai, kumpulan agregasi suara rakyat, untuk menentukan arah NKRI menuju pembangunan, melalui pemerintahan rakyat.
Namun, apakah benar, demokrasi itu menjadi senjata kesejahteraan? Masih harus dikaji. Apa betul Pemilu sebagai alat demokrasi? Perlu diuji. Karena dengan pemilu, yang baru saja terjadi, begitu banyak persoalan negatif yang kita hadapi.
Pemilu yang Menyangsikan
Di berbagai negara, terutama negara-negara yang telah maju sistem demokrasinya. Pemilu adalah alat sakral memilih pemimpin. Sebagai agenda yang sakral, maka pemilu dibuat semurni, sebersih dan sejujur mungkin, dengan seluruh sistem dan mekanisme yang telah teruji.
Di Indonesia, kita terlalu capek belajar, dalam setiap langkah pemilu, lima tahun sekali. Fakta kecurangan, baik yang dilakukan penyelengara, alat-alat kekuasaan yang memihak, para tokoh yang menjadi calon, apakah Pileg maupun Pilpres, juga rakyat pemilih, dengan simultan, ikut memainkan peran positif dan negatif, dalam proses pemilu dan demokrasi.
Dengan begitu riuhnya kepentingan pemenangan, pelaku-pelaku demokrasi ini, sebagian tidak sesungguhnya memahami, arti demokrasi secara substansial. Mereka memiliki kecenderungan, memainkan peran demokrasi yang keliru, dengan adagium; lebih baik menang tidak terhormat dari pada kalah terhormat. Terbukti, dari banyaknya kasus-kasus kecurangan, yang terjadi dalam proses pemilu, baik di tingkatan bawah, menengah dan atas, untuk menuju kemenangan politik.
Sekedar Instrumen Legalisasi
Fakta di atas, membuat kita menyangsikan, apakah Pemilu kali ini, benar-benar menjadi alat demokrasi, atau sekedar instrumen legalisasi kepemimpinan negara. Di tengah banyaknya kasus kecurangan, tentu ini menjadi refleksi, bagi semua komponen bangsa. Refleksi itu menerbitkan pertanyaan, apakah benar, orang-orang yang terpilih tersebut, sebagai wujud keterwakilan masyarakat dalam sistem demokrasi yang sesungguhnya.
Di tengah keriuhan pemilu, dengan kecenderungan politik transaksional, keberpihakan alat kekuasaan, penyelenggara yang kurang amanah, sistem yang tidak teruji dalam eksistensi Sirekap, ini menyangsikan, bahwa demokrasi bangsa ini, telah berjalan menuju tingkatan yang ideal.
Kesangsian ini membuahkan pertanyaan, apakah pemilu yang baru saja terjadi, merupakan buah dari pemilihan yang sehat, dan apakah orang-orang yang terpilih benar-benar sebagai pemimpin yang ideal dan ambisius, bekerja untuk menyuarakan kepentingan rakyat? Tentu sebagian masyarakat terdidik dan berwawasan, ragu dan skeptis.
Tentu kita bisa meneguhkan, pemilu yang sehat dan bersih, pasti akan menghasilkan, orang-orang yang berkualitas, yang mampu menjadi `speaker` suara rakyat, yang bisa menghasilkan buah pikiran positif, untuk diadu dalam debat-debat politik, baik di lingkungan pemerintah, maupun di lembaga-lembaga perwakilan, di berbagai tingkatan.
Lalu, ketika kita seringkali menemukan, di lembaga-lembaga perwakilan rakyat, yaitu para politisi yang hanya bisa mencontek program pemerintah, atau debat-debat politik yang rendah kualitas, akibat minus pengalaman dan keahlian. Maka kita pun menyangsikan, program-program kerja pemerintah yang dihasilkan, mampu memberi dorongan nilai tambah, bagi mutu hidup rakyat secara agregasi. Maka, dapat disimpulkan, Pemilu 2024 yang carut-marut ini, cuma sekedar instrumen legalisasi kepemimpin dalam pemerintahan.
Kecurangan Pemilu
Apa yang dihasilkan, oleh sebuah sistem demokrasi, melalui pemilu yang Jurdil, tentu bermuara kepada kualitas. Namun secara umum, kita menyaksikan, dalam pemilu 2024 ini, banyaknya kecenderungan `fraud`, kecurangan di sana sini, maka seluruh masyarakat pun akan menilai, apakah pemilu kali ini, benar-benar membuat demokrasi bangsa ini lebih maju, atau sebaliknya.
Namun, jika menengok kebelakang, peristiwa `begal suara` yang terjadi di tingkatan TPS, yang dilakukan oknum-oknum PPS, seperti; mengosongkan, memindahkan, menggeser, menambah, mengurangi, keliru hitung, mentip-ex hasil suara caleg, ini menunjukkan ketiada-beradaban, ketiada-etikaan, sekaligus kerendahan moralitas dan integritas penyelenggara.
Pada tingkatan lebih tinggi, oknum komisoner KPU yang diadukan, karena menjanjikan caleg terpilih mendapat kursi, dengan iming-iming uang ratusan juta, itu merupakan indikasi serius, bagaimana rendahnya integritas, dan tipisnya komitmen jujur dan adil dari penyelenggara, ini membuat rakyat, menurun rasa kepercayaan, terhadap output pemilu 2024 kali ini.
Sementara itu, rendahnya kualitas program Siakad, yang dalam kenyataan tidak mampu memberi kepercayaan, terhadap data-data rekapitulasi yang ditampilkan, yang harusnya menjadi sebuah dinamika tabulasi yang ajeg. Bagaimana mungkin, dalam hitung Siakad KPU dari waktu ke waktu, menampilkan rekapitulasi naik turun, tidak beraturan.
Dalam sebuah sistem tabulasi rekapitulasi, penjumlahan angka-angka suara pemilih layaknya selalu progresif dan positif, bukan justru melandai turun dan naik lagi tanpa kepastian, seperti yang terjadi saat ini. Maka disimpulkan, Siakad KPU adalah sistem yang tidak akad, tidak mengikat, yang menyangsikan, dan merusak kontrak ideal demokrasi dan pemilu.
Demokrasi Asal-asalan
Kita semua menjadi kurang percaya, dengan Pemilu 2024, yang baru saja terjadi. Kecurangan di sana-sini, ketiadaan etika dan adab, perilaku yang tidak jujur dan adil, dari oknum-oknum penyelenggara, mewariskan kecurangan pemilu, yang brutal, tentu dengan hasil yang juga senyampang, yaitu demokrasi yang asal-asalan.
Kita tidak serta merta, untuk menyatakan bahwa kita sedang belajar berdemokrasi, karena pemilu curang seolah-olah menjadi budaya, akhirnya permisif, atas penyelewengan demokrasi yang terjadi. Kelihatannya, kita dididik untuk sesuatu yang keliru, bahwa demokrasi boleh berbuat apa saja, asal menang, atau memenangkan individu dan kelompok tertentu.
Jika kecenderungan pola negatif pemilu ini, masih dipertahankan, seiring berjalan waktu, dari suatu periode pemilu ke periode selanjutnya, maka bangsa ini niscaya, tidak menemukan apa-apa, dari makna sesungguhnya demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat.
Penutup
Harris Soche, dalam dalam bukunya, Supremasi Hukum dan Prinsip Demokrasi di Indonesia, menerangkan bahwa demokrasi, adalah bentuk pemerintahan rakyat, dan karenanya kekuasaan pemerintah melekat pada diri rakyat, diri orang banyak; dan merupakan hak bagi rakyat, atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan, dan melindungi dirinya, dari paksaan dan perkosaan orang lain, atau badan yang diserahi untuk memerintah.
Maka, dari pernyataan ahli di atas, perlu kita renungi, untuk diimplementasi dalam proses demokrasi, agar kualitas pemimpin, proses politik dalam trias politika, fungsi-fungsi lembaga perwakilan, semata-mata mampu memberi mutu hidup rakyat lebih baik. Melalui sistem demokrasi yang bermutu, dan pemilu yang jurdil, beradab dan beretika, untuk demokrasi Indonesia, sehinga pada akhirnya, dihargai sebagai sebuah warisan, dari kita semua, sebagai komponen bangsa kepada pewaris, yaitu anak cucu dari Ibu Pertiwi.